Latest News

Hanya Tinggal Lansia Di Desa, Dimana Wahai Pemuda? Haruskah Migrasi Ke Kota? Siapa Yang Berdiri Desa?

Arus migrasi tenaga kerja  dari desa ke kota yang kerap terjadi bersamaan dengan arus balik manyisakan masalah tersendiri bagi lansia di kawasan asal migran. Sebagian besar lansia yang pada masa usia produktif mempunyai lebih dari dua anak terpaksa hidup sebatang kara. Mereka hanya mendapatkan sedikit sumbangan dan kemudahan yang diberikan oleh belum dewasa yang pernah mereka lahirkan.
dari desa ke kota yang kerap terjadi bersamaan dengan arus balik manyisakan masalah ters Hanya Tinggal Lansia di Desa, Dimana Wahai Pemuda? Haruskah Migrasi Ke Kota? Siapa yang Bangun Desa?
Secara keuangan, lansia desa yang keturunannya pindah ke kota sanggup saja tidak kekurangan lantaran anak sanggup dengan gampang mengirimkan uang kepada mereka. Akan tetapi keperluan lansia tidak sebatas uang, mereka butuh perhatian, makanan, pakaian dan sumbangan lain untuk menjalani sisa hidup yang masih harus dijalani.
Kebutuhan kedekatan dengan keluarga ini semakin meningkat bila orang renta sudah dalam keadaan sakit baik “pikun” maupun sakit yang lain. Lansia di desa pun tidak akan gampang pindah ke kota mengikuti belum dewasa mereka, lantaran sudah terikat besar lengan berkuasa oleh komunitas di perdesaan. Oleh lantaran itu, sangat jarang di antara lansia desa yang mau mengikuti keturunan mereka walaupun di desa mereka hanya tinggal seorang diri.
Sebagai gambaran, sebut saja mbah Sukirman dari desa terpencil di Gunung Kidul yang saat ini sudah berumur 80 tahun lebih dan tinggal di desa bersama istrinya yang juga sudah berumur 76 tahun lebih. Delapan anaknya telah pergi dan menetap di kota besar (Jakarta) dan telah mempunyai keturunan. Walaupun setiap tahun ada momen idul fitri yang mengantarkan belum dewasa mereka berkumpul di rumah, tetapi lansia tersebut tetap merindukan semoga salah satu anaknya ada yang tinggal di desa untuk mengurus mereka.
keadaan serupa terjadi pada sebagian besar tetangga mbah Sukirman yang anaknya pindah dan menetap di kota besar. Seperti Mbah Karsono yang mempunyai 3 anak laki-laki. Di usia yang sudah mencapai lebih dari 75 tahun, tidak ada anaknya yang mau tinggal di desa menemani mereka. Di satu sisi mereka gembira telah merampungkan kewajiban untuk mendidik dan membesarkan anak, tetapi mereka juga terasa kesepian menjadi lansia yang hidup sebatang kara. Mereka lansia sendiri juga tetap menentukan tinggal di desa lantaran merasa nyaman dan tenteram. Mereka telah hidup dalam komunitas yang terbentuk semenjak kecil.
Dari sisi belum dewasa yang ingin memperlihatkan yang terbaik untuk orang tuanya, sangat sulit bagi mereka untuk kembali ke desa lantaran terikat oleh pekerjaan yang menjadi sumber penghidupan. Mereka juga sudah dibebani kewajiban untuk membesarkan anak yang saat ini sudah memasuki masa sekolah di perguruan tinggi tinggi.
Berbagai dilema muncul sebagai imbas migrasi tenaga kerja dari desa ke kota. Lansia hidup sebatang kara di perdesaan merupakan bab dari masalah-masalah lain terjadi di desa mirip kurangnya sumber daya produktif di desa dan minimnya jumlah anak usia SD di perdesaan. Sebagian SD di perdesaan bahkan harus tutup lantaran tidak mendapatkan siswa.
Pada akibatnya lansia di kawasan sumber migran sangat membutuhkan perhatian dari  seluruh komponen bangsa terutama pemerintah. Mereka telah bekerja keras membesarkan dan mendidik generasi yang saat ini berada di usia produktif. Sudah sepatutnya kita perhatikan nasib mereka terutama lansia sebatang kara yang terpisah oleh kegiatan migrasi ke kota. (Sumber : Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI, Jakarta/*Uwo-)

0 Response to "Hanya Tinggal Lansia Di Desa, Dimana Wahai Pemuda? Haruskah Migrasi Ke Kota? Siapa Yang Berdiri Desa?"

Total Pageviews